Selasa, 18 Oktober 2011

KONFLIK DAN FAKTOR-FAKTORNYA (tugas 3)

Pengertian Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.


Faktor Penyebab Konflik

• Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.

Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.

Mediator yang Menyelesaikan

Sebahagian pihak setuju dengan pandangan bahwa konflik merupakan suatu hal yang dianggap negatif. Konflik dianggap merugikan karena dapat merusak keseimbangan sistem dan disintegrasi struktur sosial, sehingga harus dihindari. Jika pun terjadi, konflik harus ditangani sehingga tidak berdampak terhadap kehancuran sistem. Namun juga tidak sedikit kalangan yang menyatakan konflik juga fungsional terhadap keseimbangan sistem. Konflik malah harus dipelihara pada beberapa sisi karena dapat berguna memperkuat sebuah organisasi dari serangan eksternal dan gejolak internal.

Dua pandangan itu masih sama-sama berlaku, walaupun pandangan pertama masih lebih dominan pandangan yang menganggap fungsi positif dari konflik. Menurut perspektif pertama, konflik kerap membuat sebuah sistem menjadi tidak stabil karena menciptakan bentuan-benturan kepentingan yang bersifat disfungsional. Agar terhindar dari dampak negatif, konflik harus diredakan sehingga tidak merusak tujuan-tujuan yang telah direncanakan.

Strategi penanganan konflik tersebutlah yang kemudian banyak digeluti oleh banyak pihak. Alih-alih menyumbang kestabilan sistem, penanganan konflik malah saat ini sudah menjadi sub sistem baru yang memiliki peran penting. Salah satu strategi penanganan konflik yang kerap digunakan adalah melalui mediasi. Mediasi merupakan sebuah strategi penanganan konflik yang menempatkan pihak netral di tengah-tengah pihak yang berkonflik.

Mediasi sendiri sebenarnya lahir dari percampuran pendekatan, yakni pendekatan moral dan sistem. Secara moral, sistem nilai kita memberlakukan pihak netral sebagai komponen yang memiliki kepentingan terendah dibandingkan dengan pihak lainnya, sehingga penilaian dan pandangannya sangat diperlukan. Pendekatan sistem menawarkan prinsip bahwasannya keseimbangan lahir dari sebuah proses internal dan meletakkan keterhubungan komponen-komponen di dalam sebuah sistem dicapai melalui pengintegrasian bagian-bagian yang ada di dalamnya. Ada juga sebenarnya pendekatan ilmiah yang turut menjadi landasan mediasi. Pendekatan ilmiah menanamkan prinsip objektivitas dan non etik. Prinsip ini sangat penting karena netralitas hanya dapat diwujudkan dengan objektivitas dan prinsip non etis tersebut.

Proses mediasi saat ini cukup awam diberlakukan karena memiliki kesesuaian dengan modernitas sistem. Penggunaan mediasi cocok dengan semakin rasionalnya birokrasi, sehingga banyak digunakan oleh organisasi-organisasi modern.

Sampai saat ini tentu saja tidaklah mudah mengatakan penggunaan mediasi lebih efektif dalam menangani konflik dibandingkan pendekatan lainnya. Namun fakta memperlihatkan konflik lebih banyak diselesaikan melalui jalur hukum.

Tanpa bermaksud untuk meragukan penerapan mediasi yang serik sekali gagal menyelesaikan konflik sosial. Salah satu faktor penyebabbnya adalah kecenderungan mediasi yang hanya berusaha meredakan
konflik tanpa diarahkan pada penyelesaian.

Paradigma pemikiran tersebut lazim dianut oleh masyarakat dan juga mediator, sehingga akhir dari semuah proses mediasi sangat jarang berakhir dengan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak. Dalam perspektif Sosiologi, juga cenderung menawarkan hal yang sama, terutama dalam teori etnometodologis. Pendekatan etnometodologis memberikan tawaran analisis kehidupan sehari-hari terhadap realitas sosial. Salah satunya adalah analisis dalam percakapan dan komunikasi.
Analisis etnometodologis menganggap percakapan sebagai salah satu realitas yang menentukan sistem sosial. Melalui percakapan dapat diketahui bagaimana masyarakat membangun kesepahaman dan membentuk realitasnya. Realitas dimaksud disini adalah keseimbangan sistem sosial.

Berdasarkan landasan tersebut maka dimungkinkan metode etnometodologis digunakan dalam menyelesaikan konflik. Prinsip etnometodologis cenderung menganggap proses mediasi harus dapat mengatur percakapan yang berlangsung dalam mediasi. Menurut pendekatan ini, pengaturan atau mekanisme dalam percakapan yang penting dibandingkan dengan kepentingan pihak-pihak. Pengaturan percakapan menjadi penting karena pada saat itulah pihak-pihak yang terlibat membentuk sebuah keteraturan. Namun percakapan antar pihak tidaklah boleh terjadi secara langsung. Artinya, harus ada pengaturan, sehingga percakapan antar pihak tidak dilakukan secara langsung, namun harus melalui moderator yang dalam hal ini diperankan oleh mediator.

Pendekatan etnometodologis menganggap, percakapan langsung antara pihak berkonflik malah akan mempertegang pertentangan, karena pola seperti itu meningkatkan intensitas perdebatan. Jika pola percakapan langsung tersebut dibiarkan, maka akan terjadi pelebaran fokus persoalan. Masalah pokok yang seharusnya dibicarakan bisa saja terlupakan dengan cara seperti itu, malah hal-hal lain yang berada di luar pokok persoalanlah yang akan memacu persengketaan.

Tugas seorang mediator dalam hal ini bukan hanya mengatur bagaimana proses rembuk atau rapat mediasi berlangsung, namun sebenarnya lebih dari itu. Moderator sebagai pihak yang dianggap netral tentu saja tak bisa tidak bisa berdiri di satu pihak. Ia harus menjadi penengah dan tidak memiliki kecenderungan. Namun sebagai pihak yang netral, sering sekali ia kesulitan mendorong para pihak untuk mencari jalan tengah penyelesaian. Sikap patuh dan disiplin terhadap netralitas malah menjadi kendala, bahkan bisa menjadi bahan ketidakpercayaan para pihak atas kredibilitas mediator. Walaupun mediator tak boleh berpihak, paling tidak kenetralannya tersebut tidak benar-benar bebas nilai.

Yang dipentingkan bagi seorang mediator adalah bagaimana proses perdebatan dan rembuk dapat berjalan tertib dan mengkerucut pada keputusan atau solusi tertentu. Untuk itu ia harus mengatur percakapan sehingga tidak terjadi secara langsung. Mediator menjadi pihak yang mendengar dan menerjemahkan maksud dari percakapan satu pihak yang ditujukan pada pihak lain. Demikian sebaliknya, setelah mendengar, ia kemudian menyampaikan maksud tuntutan atau pernyataan tersebut kepada pihak lainnya. Fungsi tersebut bukan berarti mediator mereduksi keseluruhan maksud dari para pihak, namun mediator bisa me-reinterpretasi, menghaluskan, maupun mempertajam maksud dari pernyataan yang disampaikan pihak-pihak yang berkonflik.

Fungsi mendengar, memahami, me-reinterpretasi, menghaluskan dan mempertajam tersebut bukan berarti memoderasi konflik, namun tujuan utamanya adalah tetap menjaga alur konflik agar tidak melebar kepada hal-hal yang tidak menjadi persengketaan. Namun fungs ini juga harus dijalankan secara hati-hati, dimana para pihak sebelumnya harus memahami peran yang dijalankan oleh mediator. Sebelum pertemuan atau rembuk berlangsung, maka harus dibangun kesepakatan antar pihak sehingga paham dan mau mematuhi aturan main tersebut. Aturan main yang terpenting adalah bagaimana proses penyampaian pandangan atau tuntutan tidak berlangsung secara langsung, namun harus melalui moderator/mediator.

Selain menjaga alur percakapan atau perdebatan, fungsi pengaturan yang dijalankan oleh mediator juga dapat mencegah para pihak untuk berkonflik secara langsung. Jika dibiarkan, maka biasanya para pihak terjebak pada debat kusir yang kemudian mempertinggi intensitas konflik. Kehadiran dan fungsi mediator yang menjadi pihak pendengar, penerjemah dan penyampai maksud akan memperlunak potens meningginya tekanan pada forum pertemuan. Secara sederhana, ada sela waktu yang terjadi ketika para pihak tidak berdebat secara langsung. Sela waktu tersebut bisa meredakan ketegangan dan emosi para pihak, bahkan membuat para pihak mengurungkan niat untuk mengungkapkan sesuatu yang berada di luar konteks perdebatan. Tentu saja kelihatannya fungsi ini bisa dianggap strategi tersembunyi dari mediator, namun dalam kondisi perdebatan yang sangat tegang, peran ini sangat penting.

Ketika mediator bisa mengatur dan meredakan intensitas tekanan konflik di dalam forum, maka terbuka kemungkinan cukup besar untuk mengarahkan pembicaraan yang lebih solutif. Proses selanjutnya tentu saja sangat tergantung dari kemampuan mediator, sehingga perdebatan dan percakapan yang berlangsung dapat menemukan solus yang disepakati bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar